Oleh: Mahyudin Al Mudra
1. Pendahuluan
Kebudayaan modern dan post-modern menimbulkan perubahan di berbagai aspek kehidupan dengan tingkat kecepatan yang mengejutkan. Perubahan itu dipicu oleh kecepatan pertukaran informasi yang disajikan setiap detiknya oleh cybermedia, televisi, radio dan media-media lain (Bernard T. Adeney, 2004). Media-media informasi itu mengaburkan batas-batas fisik dan budaya -- oleh Arjun Appadurai disebut “deteritorialisasi” -- sehingga menciptakan dunia baru dengan batas-batas wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu proses penting karena ia menjadi titik balik peradaban kontemporer yang memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial dan budaya (Irwan Abdullah, 2006). Implikasi positif atau negatif dapat terjadi dalam proses sosial dan budaya itu, yang diawali dengan perubahan cara berpikir dan cara memandang dunia. Upaya-upaya menduniakan nilai-nilai luhur Melayu menjadi sangat penting sebagai penyeimbang ide dan gagasan dari luar dunia Melayu yang bersifat destruktif.
Sebelum membicarakan bagaimana seharusnya bangsa Melayu memanfaatkan efektivitas teknologi informasi untuk membangun peradabannya, terlebih dahulu kita membahas tentang apa itu Melayu dengan pengertian yang lebih luas. Pembahasan ini bertujuan memberikan penawaran definisi baru yang tidak berpihak pada suku bangsa Melayu tertentu dan mengesampingkan yang lain. Jika definisi baru yang dimaksud dapat diterima, maka pekerjaan-pekerjaan selanjutnya yang menjadi tanggung jawab kolektif dapat dilaksanakan secara bersama-sama. Perbedaan pendapat tentang apa itu Melayu merupakan isu lama yang terbentuk di bawah pengaruh sejarah, agama, fanatisme ras, batas-batas geografis, dan afiliasi politik setiap individu. Kondisi lingkungan dan afiliasi seseorang pada hal-hal di atas mempengaruhi konsepsinya dalam melihat dan memaknai Melayu, sehingga nilai subyektivitasnya lebih mengemuka. Biasanya pengertian Melayu yang muncul menjadi sempit dengan merujuk kepada pengalaman dan afiliasi pribadinya, seperti Melayu adalah Islam jika yang mendefinisikan adalah penganut agama Islam; Melayu adalah Riau jika yang berbicara orang Riau; Melayu adalah Malaka jika yang berbicara berasal dari Malaka, dan seterusnya.
Oleh karena itu, diperlukan upaya redefinisi Melayu melalui paradigma holistik yang dapat mengakomodir berbagai aspek: sejarah, budaya, agama, ras, dan bahasa dalam satu bingkai pengertian yang utuh sehingga seluruh puak Melayu di dunia dapat diakui identitasnya sebagai orang Melayu. Upaya penawaran redefinisi ini penting karena beberapa alasan: pertama, untuk menumbuhkan kesadaran bahwa seluruh puak Melayu di dunia adalah saudara serumpun, meskipun mereka memiliki beberapa perbedaan, seperti ras, agama, bahasa, dan kewarganegaraan. Kedua, untuk mempersatukan kembali puak-puak Melayu yang telah terkecai-kecai akibat politik pecah belah pemerintah kolonial. Ketiga, untuk mengoptimalkan potensi bangsa Melayu, baik secara kualitas maupun kuantitas, dalam menghadapi persaingan global, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan bermarwah.
2. Upaya Redefinisi Melayu
Tidak mudah memberikan redefinisi Melayu yang dapat memuaskan semua pihak. Sejauh ini, upaya saya meredefinisikan Melayu dan telah saya wujudkan dalam struktur dan isi di MelayuOnline.com dinilai oleh beberapa orang masih problematis. Melalui MelayuOnline.com, saya meredefiniskan Melayu sebagai “bangsa di manapun mereka berada yang pernah atau masih mempraktekkan budaya Melayu tanpa dibatasi sekat-sekat agama, ras, bahasa, geografi, dan afiliasi politik”. Yang perlu saya tegaskan di sini adalah bahwa upaya redefinisi Melayu tersebut bertujuan untuk mengakomodir dan menyatukan seluruh puak Melayu se-dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi, bukan untuk menambah daftar perbedaan definisi.
Kenyataan bahwa bangsa Melayu telah ada sejak zaman pra Hindu-Buddha, kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai penjuru dunia merupakan alasan MelayuOnline.com meredefinisikan Melayu berdasarkan kesamaan sejarah dan budaya. Secara umum, identitas bangsa Melayu hingga saat ini ditopang oleh empat pilar yang terdiri dari empat fase sejarah: pilar pertama adalah fase pra Hindu-Buddha; pilar kedua, fase Hindu-Buddha; pilar ketiga, fase Islam; dan pilar keempat, fase kolonialisme.
Oleh karena panjangnya perjalanan sejarah, luasnya persebaran area, dan perbedaan pengalaman interaksi dengan bangsa lain, maka tingkat pengaruh pilar-pilar tersebut terhadap suku bangsa Melayu yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Hal itu tergantung pada tempat di mana suku bangsa Melayu berada, kondisi lingkungannya, dan intensitas interaksinya dengan budaya lain. Misalnya, pengaruh Islam pada suku bangsa Melayu di daerah tertentu sangat kuat, seperti di Minangkabau, tetapi di daerah lain tidak kuat, seperti pada suku-suku Melayu di pedalaman Sumatra. Untuk memperjelas perbedaan tingkat pengaruh masing-masing pilar tersebut, di sini saya mencoba menjelaskan keempat pilar tersebut secara ringkas.
a. Fase Pra Hindu-Buddha
Bangsa Melayu diperkirakan telah ada di kawasan Nusantara sejak 3.000 tahun sebelum Masehi, yang dikenal sebagai “Proto-Melayu” (Harun Mat Piah, 1993). Mereka meninggalkan benda-benda bersejarah yang sangat penting sebagai penanda kemajuan peradaban Melayu saat itu. Di berbagai kawasan di Nusantara banyak ditemukan patung-patung, palungan-palungan tempat menyimpan tengkorak, menhir-menhir untuk menghormati arwah nenek moyang, dan lain-lain. Proto-Melayu merupakan pendukung kebudayaan zaman batu yang mampu menghasilkan bahan-bahan makanan dengan cara bercocok tanam (D.G.E. Hall).
Kemudian, sekitar tahun 300 SM, menyusul pendatang Melayu lainnya, yaitu “Deutro-Melayu”. Kedatangan mereka mendesak sebagian Proto-Melayu hingga mereka pindah ke daerah-daerah pedalaman, dan sisanya bercampur dengan pendatang baru (Mahdini, 2003). Kebudayaan Deutro-Melayu jauh lebih maju dengan mengembangkan peralatan-peralatan dari perunggu dan besi. Peninggalan-peninggalan Proto dan Deutro-Melayu dinilai oleh Hall sebagai peradaban Melayu kuno yang telah memiliki ciri dan karakternya sendiri, sebelum mereka dipengaruhi oleh kebudayaan India. Hall mencatat bahwa beberapa komunitas Proto dan Dutro-Melayu hingga kini masih ada dan tersebar di berbagai kawasan di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedalaman, dengan tetap mempraktekkan kepercayaan animisme dan dinamisme (D.G.E. Hall).
b. Fase Hindu-Buddha
Peradaban Melayu memasuki babak baru ketika masyarakat Melayu kuno menjalin hubungan dengan bangsa India. Hubungan antara masyarakat Melayu dengan India diperkirakan telah mulai sejak abad ke 3 Masehi melalui jalur-jalur perdagangan. Hall memperkirakan orang-orang Melayu, pada waktu itu, sudah banyak yang sampai ke India, mengingat mereka adalah pelaut ulung. Meski demikian pengaruh Hindu-Buddha baru berkembang pesat di Nusantara pada abad ke 5 M. Kerajaan Kutai di Kalimantan, patung-patung Buddha gaya Amaravati yang ditemukan di beberapa tempat di Sulawesi, Jawa, dan Sumatra menunjukkan perkembangan pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha yang cukup signifikan pada abad itu (D.G.E. Hall).
Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara mencapai puncak kegemilangannya pada abad ke-9 hingga ke-15 M. Di antara kerajaan Hindu- Buddha di Nusantara yang besar adalah Sriwijaya di Sumatra; Kediri, Singasari, dan Majapahit di Jawa. Kitab Nagarakartagama mencatat daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya menguasai 22 daerah di Pulau Sumatra. Versi lain menyebutkan bahwa pada masa kegemilangannya, Sriwijaya menguasai sebagian besar daerah di Nusantara, termasuk Kamboja (Harun Mat Piah, 1993). Memasuki abad ke-13, dominasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha berangsur angsur memudar. Periode itu ditandai dengan melemahnya kerajaan Majapahit, dan di saat yang sama, terjadi penyebaran ajaran Islam secara aktif dan meluas ke berbagai kawasan di Nusantara.
Pengaruh budaya Hindu-Buddha pada masyarakat Melayu hingga dewasa ini terlihat pada upacara-upacara adat, arsitektur bangunan dan bahasa Melayu. Contoh kata dalam bahasa Melayu yang berasal dari kata Sansekerta di antaranya adalah bulan, berasal dari kata “vulan”, sampan dari “samvau”, seribu dari “sarivu”, dan lain-lain. Sebagian puak Melayu yang masih memeluk agama Hindu-Buddha hidup di beberapa negara, seperti Kamboja, Myanmar, dan Vietnam.
c. Fase Islam
Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan sejak sekitar abad ke-11, dan berkembang semakin cepat mulai abad ke-13. Perbedaan pendapat antarpeneliti terjadi seputar dari mana Islam datang, dan siapa yang membawanya masuk ke Nusantara. Ada yang berpendapat bahwa Islam datang dari Cina, Gujarat, India, Persia atau Turki. Terlepas dari perbedaan tersebut, agama ini telah diterima secara luas oleh bangsa Melayu karena sifatnya yang egaliter dan populis. Islam tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, sehingga memungkinkan keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, termasuk pendidikan (Abdul Hadi, 2008).
Faktor penting lainnya yang menyebabkan Islam cepat berkembang di Nusantara adalah karena penyebaran agama ini didukung oleh tiga kekuatan, yaitu istana, pesantren dan pasar (Taufik Abdullah, 1988). Istana sebagai pusat kekuasaan berperan dalam memberikan legitimasi politis untuk disebarkan kepada rakyat yang bernaung di bawahnya. Pesantren yang dikelola oleh kaum tarekat berperan memberikan penjelasan tentang esensi Islam sebagai agama yang membumi dan mudah dicerna. Sifat pesantren yang terbuka untuk siapapun tanpa memandang latar belakang suku, ras dan status sosial, menjadikan lembaga ini sebagai tempat rujukan masyarakat untuk belajar mendalami ajaran Islam. Sementara itu, pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar, dan kelas menengah lain yang berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini, dialog dan pertukaran pikiran dan informasi tentang masalah perdagangan, politik, sosial dan keagamaan berjalan sangat cepat.
Dengan didukung oleh ketiga kekuatan tersebut, pengaruh Islam dalam masyarakat Melayu begitu mantap. Secara kultural, Islam disebarkan melalui pesantren dan pasar; dan secara politik dilegitimasi oleh istana. Ilmu pengetahuan Islam seperti syariah, tasawuf, kalam, tafsir, dan hadis, dan ilmu pengetahuan umum seperti, ilmu hisab, perkapalan, estetika, astronomi, logika, ekonomi dan perdagangan, dan lain-lain, berkembang begitu pesat. Perkembangan keimanan dan keilmuan secara bersama-sama menempatkan Islam sebagai poros bagi kehidupan masyarakat Melayu, yang mempengaruhi semua dimensi kehidupan mereka. Terdapat ungkapan yang populer yang secara eksplisit menunjukkan kuatnya pengaruh Islam, “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Namun perlu diingat bahwa Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Melayu yang hidup di kawasan pesisir, tidak menjadi agama mayoritas di daerah pedalaman.
d. Fase Kolonialisme
Daerah-daerah pedalaman yang tidak tersentuh oleh persebaran Islam menjadi sasaran utama bagi misionaris Kristen yang dibawa oleh bangsa kolonial Eropa mulai abad ke-16. Pemerintah kolonial, Belanda dan Inggris, tidak melakukan penginjilan Kristen di tengah penduduk Muslim yang sudah mapan karena sadar bahwa hal itu dapat merongrong “keamanan dan ketertiban” yang sangat penting bagi kepentingan material bangsa Eropa (Robert W. Hefner, 2007). Upaya menciptakan kantong-kantong Kristen di daerah pedalaman dirasa oleh pemerintah kolonial lebih aman, di samping untuk membangun keberpihakan penduduk lokal kepada pihak kolonial. Proses kristenisasi berjalan selama bertahun tahun, sehingga beberapa suku bangsa Melayu yang menetap di daerah pedalaman, seperti Batak Karo di Sumatra Utara dan Toraja di pedalaman Sulawesi, mayoritas menganut agama Kristen. Perbedaan agama inilah yang kemudian dijadikan sebagai salah satu batas identitas antara Melayu dan bukan Melayu sampai dewasa ini.
Di samping kristenisasi, peran kolonialisme dalam mengkotak-kotak bangsa Melayu juga ditempuh melalui jalur politik. Perjanjian antara Inggris dan Belanda pada 17 Maret tahun 1824, dikenal dengan Traktat London, secara sepihak telah membagi wilayah Melayu menjadi dua, yaitu sebelah utara menjadi daerah kekuasaan Inggris, dan selatan daerah kekuasaan Belanda. Pembagian administratif kolonialis semacam itu pada perjalanannya melahirkan negara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bahasa Melayu di tiga negara itupun berkembang di bawah pengaruh bahasa masing-masing negara kolonial itu. Bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda, sedangkan bahasa Melayu Malaysia dan Singapura banyak dipengaruhi oleh bahasa Inggris.
Keempat fase tersebut berada dalam frame sejarah peradaban bangsa Melayu dan telah membentuk identitas dan kepribadian mereka secara umum. Namun perbedaan-perbedaan corak kebudayaan antarsuku bangsa Melayu menunjukkan adanya tingkat keterpengaruhan yang berbeda-beda dari setiap fase sejarah itu. Ada suku bangsa Melayu yang kuat tradisi Islam atau Kristennya, namun ada juga yang tetap menjaga tradisi Hindu-Buddha dan dinamisme-animisme. Memang mayoritas masyarakat Melayu telah memeluk agama Islam, berkat keberhasilan para misionaris Islam di Nusantara sejak abad ke-11. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa di kawasan tertentu terdapat masyarakat atau komunitas Melayu yang tidak memeluk agama Islam, seperti masyarakat Melayu di SoE, Nusa Tenggara Timur yang mayoritas beragama Kristen, dan komunitas Melayu di daerah-daerah pedalaman Riau, seperti Talang Mamak yang masih menganut tradisi animisme dan dinamisme. Perbedaan-perbedaan keyakinan tersebut tidak serta-merta mengeliminasi komunitas Melayu tertentu dari identitas utamanya (Melayu), karena akar perbedaan tumbuh secara alami atas pengaruh perjalanan sejarah, kondisi lingkungan, dan hasil interaksi dengan bangsa dan budaya lain.
Pemaknaan Melayu dan kemelayuan tampak semakin kompleks ketika seseorang melihat identitas kemelayuannya berdasarkan pengalaman dan afiliasi pribadinya. Bentuk terkecil dari afiliasi seseorang adalah keluarga, kemudian komunitas, masyarakat, dan negara. Di dalam masyarakat dan negara terdapat juga afiliasi kelas sosial, agama, pendidikan, ideologi, politik dan lain-lain yang berpengaruh besar pada upaya pemaknaannya tentang Melayu. Umumnya, Melayu selalu diidentikkan dengan Islam sebagai agama yang paling berpengaruh di masyarakat Melayu hingga dewasa ini. Pengertian ini tidak salah, tetapi bersifat agak sempit dan individual yang jika ditarik dalam konteks yang lebih luas, misalnya pada level masyarakat atau negara, akan memiliki muatan politis. Hefner mencatat bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa Melayu, para bangsawan pribumi telah sukses membungkus etnisitas mereka dengan baju Islam untuk mempertahan posisi-posisi strategis di hadapan para penjajah (Robert W. Hefner, 2007). Dengan kata lain, penggunaan Islam sebagai identitas kemelayuan merupakan strategi para bangsawan untuk tetap mendapatkan dukungan dari rakyat dalam menghadapi dominasi penjajah.
Memang sejauh ini definisi umum tentang siapa itu orang Melayu selalu menyandingkan etnisitas Melayu dan agama Islam secara sejajar. Secara ontologis, kemelayuan dan keislaman merupakan dua dimensi yang berbeda. Etnik Melayu merupakan kumpulan individu-individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Sementara itu Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Yang pertama menciptakan hubungan horisontal, sedangkan yang kedua vertikal. Maka jika definisi Melayu dibatasi pada identitas etnik dan agama, akan menciptakan posisi yang tumpang tindih antara agama sebagai sistem kepercayaan yang bersifat individual dan etnisitas sebagai struktur sosial (Ansor, 2005).
Dengan demikian, mendefinisikan Melayu tidak bisa hanya dengan melihat satu fase sejarah atau satu afiliasi saja, misalnya dengan Islam. Tetapi mesti melihat rentang sejarah dan perkembangan budaya yang lebih jauh dan luas, sehingga upaya mendefinisikan Melayu tidak memutus mata rantai sejarah bangsa Melayu itu sendiri. Definisi Melayu akan menjadi sempit jika dibatasi dengan ras, agama, bahasa, batas-batas geografis, atau afiliasi politik.
3. Melayu di Indonesia dan Malaysia: Pemaknaan Melayu yang Reduktif
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, batas-batas geografis politis bangsa Melayu pertama kali diciptakan oleh bangsa Eropa melalui Traktat London. Kebijakan kolonialis tersebut menyebabkan polarisasi bangsa Melayu menjadi Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei. Konsep baru tentang negara bangsa semakin menegaskan bahwa secara politis dan geografis bangsa Melayu yang duhulu merupakan kesatuan menjadi terpecah-pecah di masing-masing negara. Pengertian utama dari “bangsa”, yang paling sering dikemukakan dalam literatur, adalah definisi politis. Bangsa meliputi seluruh rakyat yang hidup dan diakui secara legal sebagai warga oleh negara tertentu yang memiliki batas batas teritorial tertentu, sehingga secara politis mereka menjadi satu dan tidak terbagi. Secara politis anggota-anggota suatu nasionalitas berkeinginan untuk berada di bawah pemerintahan yang sama, dan pemerintahan itu dibentuk oleh mereka atau sebagian dari mereka (E.J. Hobsbawm, 1992). Dengan demikian pasca kolonialisme muncul bermacam-macam bangsa di Asia Tenggara. Ada bangsa Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan lain sebagainya.
Sentimen nasional secara demokratis menyatukan seluruh elemen rakyat tanpa membedakan agama, bahasa, ras dan etnisitas. Persatuan dan kesatuan bangsa, dalam pandangan demokratik-revolusioner, jauh lebih penting dari perbedaan-perbedaan itu. Oleh sebab itu baik di Indonesia atau Malaysia, warga keturunan Arab, India dan Cina menjadi satu kesatuan integral dengan orang-orang Melayu dalam masing-masing negara. Pengertian bangsa yang beralaskan definisi politik semacam itu secara perlahan-lahan mendominasi paradigma pemikiran mayoritas manusia modern yang berakibat pada tergusurnya pengertian persatuan bangsa dalam wadah persamaan budaya.
Konsep negara bangsa modern telah membangun self-concept setiap warga suatu negara tentang siapa dia, berasal dari lingkungan apa dan negara mana. Pemikir asal Mesir, Sayyid Yassin, berpendapat bahwa self-concept dibentuk secara sadar, terencana dan dinamis, yaitu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan kondisi internal dan eksternal. Dari perubahan dan perkembangan self-concept inilah hubungan antar individu atau kelompok, maupun hubungan antar dua bangsa dapat dijelaskan (Sayyid Yassin, 2002). Adanya self-concept dalam diri anggota-anggota sebuah negara menciptakan identifikasi siapa “kita” dan siapa “mereka”. Dalam hal ini bangsa Indonesia memandang Malaysia sebagai “mereka”, begitu juga sebaliknya, meskipun secara etnisitas dan budaya berasal dari rumpun yang satu.
Pencitraan diri melalui self-concept secara politis, dengan tegas membedakan antara warga negara tertentu dengan orang di luar negara itu. Dahulu, sebelum menguatnya identitas Melayu politis, kedua bangsa Indonesia dan Malaysia melakukan shared values yang didasarkan atas persaudaraan serumpun. Namun dalam perkembangannya, hubungan kedua bangsa serumpun ini banyak diwarnai ketegangan-ketegangan. Perkembangan dan perubahan pandangan bangsa Malaysia secara eksternal dipengaruhi pengalaman sejarah ‘ganyang Malaysia‘ oleh Orde Lama, sejumlah pendatang gelap Indonesia di Malaysia, kabut asap (jerebu) tahunan asal Sumatra dan Kalimantan, dan lain sebagainya. Sehingga, muncul conflicting values antara kedua bangsa yang ditandai dengan penilaian bahwa Indonesia adalah “jiran yang problematik” oleh beberapa pihak di Malaysia.
Ketika masing-masing bangsa secara politis telah membangun self-concept nya sendiri-sendiri, maka persamaan-persamaan kultural dan etnisitas yang dahulu secara komunal dapat menyatukan, kini telah luntur. Meluasnya prasangka-prasangka, baik dari pihak warga Indonesia maupun Malaysia, merupakan contoh yang menyangkal bahwa persamaan budaya dan sejarah sebagai fondasi konsep komunalitas yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip solidaritas, persaudaraan (brotherhood) dan kohesi sosial. Konsep negara-bangsa dewasa ini lebih menyatukan daripada persamaan budaya.
Meskipun demikian, di tengah dominasi paradigma pemikiran modern yang cenderung menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai luhur agama, budaya dan norma-norma sosial, masih ada harapan kedua bangsa untuk saling menghargai, menghormati, dan bersatu dalam bingkai kebudayaan. Persamaan budaya (Melayu) tetap menjadi salah satu unsur pokok yang dapat membangun kembali keharmonisan kedua bangsa.
Di bidang bahasa kita telah membangun MABBIM (Majlis Bahasa Brunei-Indonesia-Malaysia)