Senin, 6 Oktober 2025

Revitalisasi Pantun Melayu : Memangku Tradisi Menjemput Zaman

Mahyudin Al Mudra, SH., MM.

Disampaikan pada ”Seminar Revitalisasi Budaya Melayu ke-II”,
di Tanjungpinang, Kepulauan Riau (16 – 18 Desember 2008)


Abstraksi

Pantun merupakan guru untuk menimba dan menambah ilmu, mengetahui dan mengkaji adat istiadat, menyampaikan dan mengingatkan petuah-amanah, mengangkat tuah Melayu, mengajar hukum dan syarak, memperbaiki laku-perangai, mengisi mana yang kurang, dan tempat mencari suluh. Pantun menjadi alat masyarakat Melayu untuk mengkonstruksi dan mereproduksi kebudayaannya. Namun fungsi ideal tersebut telah tereduksi menjadi sekedar permainan kata-kata. Oleh karenanya, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk mengembalikan fungsi-fungsi luhur tersebut, yaitu revitalisasi.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan historis-antropologis. Pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai luhur pantun dengan melakukan pembacaan secara cermat atas konteks sosial dan kultural pantun. Dengan cara tersebut, kita dapat merumuskan agenda kerja untuk merevitalisasi pantun. Tanpa memahami aspek sosial dan kulturalnya, revitalisasi pantun akan terjebak dalam formalisasi. Penulis menawarkan empat cara untuk melakukan revitalisasi pantun, yaitu: redefinisi pantun, keberpihakan politik, penggunaan tehnologi, dan penelitian secara antroplogis-sosiologis.

Kata kunci: pantun Melayu, penuntun, revitalisasi.


A. Pendahuluan


Sejak mendirikan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) pada tahun 2003, penulis telah mengunjungi daerah-daerah pendukung kebudayaan Melayu, baik yang berada di wilayah politik Indonesia maupun manca negara. Dari kunjungan-kunjungan tersebut, penulis mengetahui bahwa pantun menjadi bagian yang ”seolah-olah” tidak terpisah dari kehidupan orang-orang Melayu. Mengapa penulis katakan ”seolah-olah”, karena pantun yang secara ideal mengandung berbagai unsur pendidikan, pengajaran, nasehat, peraturan tentang kehidupan dan tingkah laku, budi pekerti, peran orang tua dalam mendidik anak, hubungan suami istri, hubungan anak pada orang tuanya, dan lain sebagainya telah tereduksi menjadi sekedar permainan kata-kata dan pemanis ruangan majlis. Dengan kata lain, pantun sebagai manifestasi dan ekspresi kebudayaan oral secara formal masih tetap terpelihara namun telah kehilangan ruhnya. Apa yang terjadi tersebut bukan kabar baik bagi perkembangan dan eksistensi pantun Melayu. Bagaimana akan mempertahankan, menggali nilai-nilai luhur, dan menjadikannya sebagai tunjuk ajar untuk membangun dan mengekalkan Melayu jika kita terjebak pada aspek formalitas pantun.

Oleh karenanya, walaupun pantun masih sering dibacakan oleh puak-puak Melayu, khususnya di daerah-daerah pedesaan, dalam berbagai upacara, pementasan budaya, dan kegiatan-kegiatan keseharian lainnya, tetapi pembacaan pantun hanyalah sebagai prasyarat (pelengkap) acara bukan sebuah proses pewarisan nilai-nilai. Pantun secara fisik hadir dalam masyarakat, tetapi tidak demikian dengan nilai-nilainya. Menurut Tenas Effendy, dalam kehidupan masa kini, walaupun pantun masih dikenal dan dipakai orang, tetapi isinya tidak lagi berpuncak kepada nilai-nilai luhur budaya asalnya, tetapi bersifat senda gurau atau ajuk-mengajuk antara pemuda dengan pujaannya. Akibatnya, pantun menjadi barang mainan, kehilangan fungsi dan maknanya yang hakiki, yakni sebagai media untuk memberikan “tunjuk ajar” serta pewarisan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Fenomena tersebut, merupakan realitas yang cukup memprihatinkan karena kegagalan mengkomunikasikan nilai-nilai luhur dalam pembacaan pantun akan mereduksi pantun hanya sekedar permainan kata-kata dan hiburan penyemarak suasana.

Jika kondisi tersebut dibiarkan, dan puak-puak Melayu tidak berupaya untuk merevitalisasinya, bukan mustahil seiring kemajuan zaman pantun hanya akan menjadi fosil kebanggaan masa lalu bangsa Melayu. Berubahnya fungsi pantun merupakan pertanda bahwa saat ini Melayu sedang mengalami pengaburan identitas (jati diri) kemelayuannya. Mungkin saja bangsa Melayu dengan penguasaan tehnologi yang canggih akan mampu membangun marwah peradaban Melayu, tetapi perlu dicaat bahwa peradaban yang dibangun tanpa berlandaskan kepada nilai-nilai kulturalnya adalah peradaban semu dan rapuh. Mengapa rapuh? Karena peradaban yang dicapai hanya akan menyebabkan orang Melayu menjadi teralienasi, kering dan gersang dari keluhuran budi. Maraknya illegal logging, korupsi, pengrusakan hutan, perjudian, dan tindakan-tindakan amoral lainnya merupakan salah satu penanda hilangnya nilai-nilai luhur dari kalbu Melayu. Hal ini terjadi karena, salah satunya, pantun tidak lagi menjadi media untuk mewariskan nilai-nilai Melayu.

Kalau kayu hendak berbuah
Daunnya jangan dicencang-cencang
Kalau Melayu hendak bertuah
Pantun jangan dibuang-buang

Wahai ananda cahaya mata
Orang berpantun jangan dikata
Didalamnya ada intan permata
Jikalau faham jadi mahkota

Pantun merupakan guru untuk menimba dan menambah ilmu, mengetahui dan mengkaji adat istiadat, menyampaikan dan mengingatkan petuah-amanah, mengangkat tuah Melayu, mengajar hukum dan syarak, memperbaiki laku-perangai, mengisi mana yang kurang, dan tempat mencari suluh. Pantun menjadi alat masyarakat Melayu untuk mengkonstruksi dan mereproduksi kebudayaannya. Oleh karenanya, pantun harus segera direvitalisasi. Revitalisasi bukan menghadirkan masa lalu ke dalam zaman sekarang, tetapi bagaimana agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pantun Melayu dapat diterjemahkan dalam konteks kekinian.

Jika pantun telah terbukti mampu menghantarkan bangsa Melayu sebagai bangsa yang beradab, maka menjadi tugas setiap puak-puak melayu untuk melestarikan, mengekalkan, dan menjadikannya sebagai pedoman hidup budaya Melayu. Bukan mustahil, keberingasan puak-puak Melayu akhir-akhir ini baik dalam berhubungan dengan sesama manusia ataupun dengan alam karena tradisi berpantun telah ditinggalkan. Bukan mustahil lahirnya pemimpin-pemimpin dholim dan korup karena pantun tidak lagi menjadi pegangan.

B. Mengenal Pantun Melayu

Dalam khazanah Melayu, terdapat beragam jenis karya sastra, tetapi mengapa pantun yang dijadikan sebagai identitas jati diri bangsa Melayu. Menurut Maman S. Mahayana ada tiga hal yang menjadi alasannya, yaitu: pantun merupakan karya asli bangsa Melayu, mencakup semua orang Melayu, dan digunakan dalam berbagai tempat dan kesempatan. Pertama, pantun merupakan karya sastra asli bangsa Melayu yang telah ada sebelum Islam, Hindu dan Buddha datang. Bahkan sejak tahun 1688, pantun telah menjadi objek penelitian. Pantun merupakan bentuk pengungkapan rasa hati dan pemikiran yang khas bangsa Melayu dan mempunyai sifat multi-budaya, multi-bahasa, multi-agama dan multi-ras. Penelitian terhadap pantun biasanya memfokuskan diri pada tiga hal, yaitu: (1) asal kata pantun dan usaha membandingkannya dengan pola persajakan sejenis. (2) fungsi dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang, dan dua larik terakhir yang disebut isi. Dan (3) mengkategorisasi jenis pantun dan kedudukannya dalam masyarakat. Penelitian-penelitian tersebut bermuara pada satu pembuktian dan penegasan bahwa pantun merupakan hasil kesusastraan Melayu yang khas, unik dan menakjubkan.

Kedua, pantun tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratafikasi sosial, dan hubungan darah. Pantun merupakan hasil karya sastra bangsa Melayu yang hidup baik dalam ranah great tradition maupun litle tradition. Dibandingkan dengan karya sastra lainnya, pantun merupakan satu-satunya karya sastra yang mampu menisbikan batas antara orang-orang yang berada pada great tradition dan litle tradition. Tidak ada aturan bahwa yang boleh berpantun hanyalah para pejabat, yang ada hanyalah keharusan agar semua puak-puak Melayu dapat berpantun. Oleh karena pantun digunakan oleh semua lapisan masyarakat untuk mengungkapkan hasrat hati dan pikirannya, maka pantun merupakan teks sejarah yang menggambarkan realitas sosial-kultural bangsa Melayu.

Dan ketiga, pantun dipergunakan dalam berbagai macam tempat dan kondisi sosial. Pantun merupakan media puak-puak melayu untuk berkomunikasi, melakukan pengajaran, dan membentuk jatidiri Melayu. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Melayu, pantun selalu diperdengarkan. Keberadaan pantun ibarat garam dalam makanan. Betapun makanan diolah dengan canggih tetapi tidak ditambah dengan garam, makanan tersebut tidak terasa enaknya.

Selain itu, dengan menggunakan pantun orang-orang Melayu dapat berkomunikasi tanpa menyingung lawan bicaranya. Seperti yang diungkapkan oleh IR Poedjawijatna, menyatakan rasa kasih sayang, benci atau tidak suka itu tidaklah mudah apalagi jika harus disampaikan secara langsung. Tetapi jika menggunakan pantun, mengucapkan, mengungkap rasa dan menyampaikan sindiran akan lebih mudah karena pantun dapat mencubit tanpa menimbulkan rasa sakit.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, benar apa yang dikatakan oleh Muhammad Haji Salleh, sebagaimana dikutip oleh Noriah Taslim, bahwa pantun merupakan genre yang asli dan unik, dan sumber khazanah dalam kehidupan masyarakat Nusantara, baik dari segi pemikiran dan nilai-nilai moralnya. Pantun merupakan refleksi akal budi orang Melayu sehingga melaluinya kita dapat melihat kebijaksanaan dan keahlian puak-puak Melayu membentuk makna yang indah.

Apakah pantun itu? Pantun merupakan khazanah lisan Melayu tradisional yang terdiri dari empat baris yang mandiri dengan skema rima abab. Dua baris pertama merupakan pembayang atau sampiran, manakala dua baris berikutnya mengandungi isi. Biasanya bagian pembayang merupakan unsur-unsur alam, sementara bagian isi merujuk kepada dunia manusia yang meliputi perasaan, pemikiran, dan perbuatannya. Selain bentuk empat baris, pantun juga bisa terdiri dua baris, enam baris, delapan baris, dan bentuk berkait yang dikenal sebagai pantun berkait. Namun ada juga yang menganggap bahwa pantun Melayu sekedar hasil dari kreativitas puak-puak melayu dalam mempermainkan kata-kata.

Apakah penjelasan tersebut cukup menjelaskan pantun? Jawabannya tentu saja tidak. Apakah mungkin sebuah karya sastra yang hanya terdiri dari empat baris dan berpola abab dapat menghipnotis para peneliti barat sejak tahun 1688 untuk datang, mengagumi, dan menelitinya? Dan jika pantun hanya sekedar karya sastra hasil dari kepandaian puak-puak Melayu mempermainkan kata-kata, apakah mungkin pantun mampu memancarkan semacam mysterium tremendum et fascinosum (misteri yang dahsyat menggetarkan dan menakjubkan) sehingga banyak orang yang mencoba mencari ”intan permata” yang ada di dalamnya, mereguk nilai luhur dan menguak ”misteri” yang dikandungnya. Begitu indah, kaya, dan mendalamnya isinya sehingga darinya lahir beragam tulisan baik yang membicarakan aspek-aspek struktur atau bentuk, jenis atau kategori, fungsi, latar budaya pantun, maupun estetika yang mendasarinya. Jika demikian, apakah pantun itu? Memberikan definisi pantun secara verbal sangat sulit, karena dapat menyebabkan pantun ”terbatas” ke dalam ranah sempit. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, untuk memberikan definisi pantun harus mempertimbangkan lima hal, yaitu: aspek fisik, nilai yang dikandung, fungsi atau kegunaannya, keluasan penggunaannya, dan konteks sosial-budayanya.

Dengan mempertimbangkan kelima hal tersebut dalam memberikan definisi pantun, maka kita akan terhindar dari pereduksian. Definisi pantun sebagai karya sastra yang terdiri dari empat baris dan berirama a/b/a/b tentu saja penting untuk mengidentifikasi pantun secara fisik, tetapi tidak cukup memunculkan kesadaran bahwa pantun merupakan hasil dari tradisi oral masyarakat yang mengandung nilai-nilai luhur. Pendefinisian tersebut juga tidak mampu merekam kondisi sosial-kultural masyarakat Melayu saat itu. Selain itu, ketika pantun hanya didefinisikan sebagai karya sastra yang terdiri empat baris dan berrima abab, maka tidak salah jika pantun dianggap sebagai demonstrasi keahlian memainkan kata, sekedar hiburan belaka, dan dianggap, oleh angkatan pujangga baru, sebagai karya sastra yang sudah mati.

C. Peranan Pantun dalam Kehidupan Orang Melayu

Pantun lahir dari tradisi oral masyarakat Melayu, yaitu sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikiran-pemikirannya. Ia menggambarkan segala hal ikhwal yang berkaitan dengan pemikiran dan perilaku orang Melayu, seperti bagaimana bersikap, bertutur kata, sampai mengungkapkan perasaan. Menurut Ding Cho Ming, pantuns not only embodies the philosophy, values, culture, wisdom, imagination, and life of Malays World People but also has been playing a prominent social symbol in the Malay world all along. Bagi masyarakat Melayu, penggunaan pantun sebagai media untuk mengkomunikasikan pemikirannya telah berlangsung sejak masyarakat Melayu belum mengenal tulisan, terus berlangsung hingga saat ini, dan bahkan mungkin sampai masa-masa yang akan datang.

Sebagai hasil dari kebudayaan oral, pembuatan pantun bersifat situasional, yaitu dibuat berdasarkan sesuatu yang berada dekat dengan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang bersifat kelisanan, pemikiran yang bersifat abstrak atau konseptual selalu dihindari. Apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, maka dirujukkan kepada benda-benda yang berada disekitarnya. Pengkonkritan ide-ide dan gagasan seperti ini merupakan cara yang lumrah digunakan oleh masyarakat oral agar pesan yang bersifat abstrak dapat diterima dan dipahami oleh orang yang mendengarnya.

Berdasarkan hal tersebut, pantun bukan sekedar karya sastra asli Melayu berjumlah empat baris dengan rima abab, tetapi merupakan cara puak-puak Melayu memahami dan mensakralkan alam, membangun peradaban manusia, dan memperkenalkan diri kepada bangsa-bangsa lain di dunia.

Kedekatan, penghargaan, dan penghayatan bangsa Melayu terhadap alam, secara jelas dapat dilihat pada sampiran atau pembayang pantun. Pada sampiran atau pembayang pantun, biasanya digunakan alam dan benda-benda konkrit lainnya. Ini menunjukkan bahwa penggunaan alam atau benda-benda kongkrit lainnya merupakan bentuk keintiman bangsa melayu dengan alam. Apa yang mereka amati, kemudian mereka pelajari, dan dijadikan landasan (perilaku, moral, dan etika) untuk hidup secara baik sebagaimana termaktub dalam dua baris terkahir pantun.

Dengan memperhatikan bagian sampiran dan isi pantun, maka kita akan dapat melihat simbolisasi alam dalam pemikiran orang Melayu. Alam dalam pemikiran Melayu ada dua bagian, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Citraan alam beserta benda-benda seisinya adalah makrokosmos sedangkan manusia sebagai mikrokosmosnya. Karena manusia (mikrokosmos) merupakan bagian dari alam (makrokosmos) maka sudah seharusnyalah jika yang kecil membuat harmoni dengan yang besar, yaitu dengan cara memahami. Untuk memahaminya, maka manusia dapat meleburkan diri dengan alam atau, jika tidak, bersahabat dengan alam. Dengan cara inilah orang melayu belajar dan atau mengajar, berkomunikasi secara serius atau sekedar berkelakar, dan membentuk identitas yang khas bangsa Melayu.

Oleh karena itu, benar yang dikatakan oleh Tenas Effendy bahwa hakekat atau isi dari pantun Melayu adalah tunjuk ajar yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma yang dianut masyarakat. Penyampaian nilai-nilai tersebut bervariasi, ada yang melalui kelakar, sindiran, nyanyian, dan sebagainya, sehingga muncul anggapan bahwa pantun Melayu ada yang berisi tunjuk ajar dan ada pula yang hanya hiburan belaka. Padahal jika pantun disimak dan diteroka, apapun wujud pantunnya, di dalamnya memuat nilai-nilai luhur budaya Melayu untuk menyindir, membujuk dan mendidik manusia. Walaupun tentu saja kekentalan isinya berbeda-beda, tergantung pada pemahaman dan kecerdasan orang menyampaikan pantun.

Alam bukan saja menjadi sumber ilham penciptaan pantun, tetapi juga menjadi cermin manusia menatap dan menginsafi dirinya. Pantun menemani kehidupan anak-anak melalui dendang ibunya, menghantarkan menuju kedewasaan untuk meratapi cinta yang tak berbalas, rindu yang tak berkesudahan, melangkah bersamanya rintihan para perantau, dan akhirnya mencapai hari tua untuk menegur dan menasihati.

”Adat berpantun, pantang melantun” merupakan salah satu pengingat yang sering diucapkan oleh para orang tua agar dalam berpantun berlandaskan etika dan norma-norma sosial masyarakat. Oleh karena itu, menurut Effendy, isi pantun haruslah bersifat mengingatkan, tunjuk ajar dan nasehat, tidak boleh memfitnah, merendahkan martabat orang lain, dan lain sebagainya yang bersifat negatif. Isi pantun harus menjadi penuntun sebagaimana disebutkan dalam sebuah ungkapan, ”hakekat pantun menjadi penuntun.” Oleh karena pantun merupakan penuntun, maka pantun harus berperan untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang sarat berisi nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat. Melalui pantun, nilai-nilai tersebut disebarluaskan kepada masyarakat dan diwariskan kepada anak cucunya. Selain itu, pantun juga berperan untuk mewujudkan pergaulan yang seresam, hiburan serta penyampai aspirasi masyarakat. Untuk melihat peranan pantun dalam masyarakat Melayu, kita bisa melihatnya pada pantun-pantun berikut ini.

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amantat

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk mengajar hukum dan syarak

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain selendang
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi hukum dan undang

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain dan baju
Apa guna orang berpantun
Untuk menimba berbagai ilmu

Kalau orang berlabuh pukat
Carilah pancang kayu berdaun
Kalau kurang mengetahui adat
Carilah orang tahu berpantun

Dari pantun-pantun di atas, kita dapat mengetahui bahwa pantun berperan sangat vital dalam kehidupan bangsa Melayu. Melalui pantun, tunjuk ajar disebar luaskan, diwariskan dan dikembangkan. Melalui pantun pula nilai-nilai luhur dikekalkan dan disampaikan kepada anggota masyarakatnya. Setiap pantun Melayu pada hakekatnya mengandung nilai-nilai luhur, termasuk didalamnya pantun kelakar atau pantun sindirin. Sebagaimana diungkapkan, ”di dalam kelakar terdapat tunjuk ajar”; ”di dalam seloroh ada petaruh”; ”di dalam menyindir terdapat tamsil”.

Pantun harus dipahami dan dimengerti dalam konteks sosio-kultural masyarakat, bukan semata-mata pada pilihan katanya. Untuk tujuan tersebut, ada sekian perangkat yang harus dipersiapkan agar pemahaman yang dicapai tidak menimbulkan kesesatan, di antaranya adalah pengetahuan yang mendalam terhadap tradisi Melayu, bahasa, lambang-lambang, dan, jika prasyarat tersebut tidak punya, bertanyalah pada penuntun, guru. Kesalahan memberikan penafsiran bukan saja intan permata yang ada dalam pantun tidak terangkat, tetapi identitas Melayunya akan menjadi kabur. Oleh karena itu, pembacaan pantun tanpa memahami kandungan nilai-nilainya, tidak akan bermanfaat apa-apa selain sekedar hiburan dan pelengkap pesta kebudayaan.


D. Munculnya Kesadaran dan Harapan Baru


Di Indonesia, pasca gerakan reformasi tahun 1997 dan bergulirnya otonomi daerah, muncul kesadaran dan harapan baru dikalangan pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat umum untuk menggali kekayaan lokal, pantun, dan mengembangkannya menjadi landasan berpikir untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Akhir-akhir ini kita semakin banyak menyaksikan para pejabat dalam pidato resminya menyelipkan pantun, organisasi sosial (ormas) kemasyarakatan berpeluh-peluh mengumpulkan pantun, dan kalangan perguruan tinggi berjibaku meneliti pantun.

Secara historis kita dapat mengetahui bahwa pantun merupakan simbolisasi rasa hati dan pemikiran puak-puak melayu yang di dalamnya mengandung beragam nilai-nilai luhur, baik nilai-nilai agama, adat, sosial, hukum dan budi pekerti. Melalui pantun orang Melayu mengkonstruksi nilai-nilai, mewariskan, dan membentuk peradaban Melayu yang agung. Untuk mengetahui bagaimana pantun mempengaruhi pembentukan peradaban Melayu, kita juga memerlukan kajian-kajian antropologis. Dengan kajian ini kita dapat menggambarkan dan memahami setiap fenomena yang melingkupi keberadaan pantun. Selain itu, melalui cara ini kita dapat memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya sehingga kita akan terhindar dari kesalahan dalam menafsirkan pantun.

Bila pantun tersalah faham,
Yang halal menjadi haram
Yang timbul jadi tenggelam
Lambat laun hidup pun karam

Pantun menjadi teman bermain dan tidur anak-anak Melayu, menjadi penyemangat dan penasehat para kaum muda, dan menjadi alat para orang tua mengekspresikan kebijaksanaannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi dialektika antara pantun dan manusianya. Pada posisi ini, terjadi proses saling memengaruhi antara pantun dan orang-orang Melayu. Pembacaan dan pemahaman manusia terhadap alam melahirkan untaian pantun yang mampu menghipnotis para peneliti dan satrawan barat dan, pada saat bersaman, memengaruhi kehidupan orang-orang Melayu. Ada proses externalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiga proses tersebut dapat dilihat pada proses pewarisan atau pentransmisian pantun. Dalam proses tersebut terjadi pengenalan, pengajaran, pembiasaan, dan pelembagaan. Pengenalan terhadap pantun dimulai sejak anak-anak. Pantun diperkenalkan oleh para orang tua dengan cara bercerita ketika anak-anaknya sedang bermain atau hendak tidur. Dengan cara inilah penanaman nilai-nilai pantun dilakukan. Proses selanjutnya adalah pembelajaran. Pembelajaran di sini bukan sekedar pembelajaran tentang pantun yang berjumlah empat baris dan berrima abab, tetapi lebih dalam dari itu, yaitu pembelajaran kandungan nilai-nilai pantun.

Setelah pengenalan dan pengajaran, akan terjadi proses pembiasaan. Orang Melayu dilatih agar terbiasa berpantun dalam setiap kesempatan. Pantun dilakukan oleh siapa saja dan dalam kesempatan apa saja. Oleh karena itu, pada generasi tua Melayu, kita akan cukup mudah menemukan orang yang sedang berpantun, ketika bertemu, ketika bermusyawarah, dan bahkan ketika menyampaikan dakwah agama. Karena telah menjadi kebiasaan, maka kehidupan bangsa Melayu akan lesap ketika pantun tidak diperdengarkan, pantun memberikan jiwa pada kata-kata yang terucap.

Ketika pantun telah menjadi bagian integral dalam kehidupan bangsa Melayu, maka selanjutnya adalah proses pelembagaan. Namun juga harus disadari bahwa pelembagaan terhadap pantun sebagai hasil karya sastra yang lahir dari tradisi oral (oral tradition) ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi dia dapat menjaga dan menjamin keberlangsungan hidup pantun, tetapi pada sisi yang lain ia juga dapat mereduksi keluasan dan keluhuran kandungan isinya. Pelembagaan tersebut, misalnya, telah melahirkan statemen dari pujangga baru bahwa pantun adalah karya sastra yang telah mati.

Perkembangan zaman yang ditandai dengan pencapaian manusia yang sangat luar biasa dalam bidang teknologi, ternyata berdampak cukup besar terhadap keberadaan pantun. Hilangnya kebiasaan bercerita para orang tua kepada anaknya ketika hendak tidur sehingga digantikan oleh TV, semakin mahalnya waktu yang menuntut apa saja yang dilakukan secara simpel sehingga kegiatan berpantun dianggap pekerjaan yang kurang efektif, dan keserakahan manusia untuk mengeksploitasi alam sehingga alam tidak lagi menjadi tempat berguru tetapi sebagai pemuas hawa nafsu, telah menggiring pantun ke sudut-sudut sempit ruang pertunjukan. Jika ini yang terjadi, bukan mustahil pantun sebagai sebuah pencapaian karya sastra Melayu, lima puluh tahun ke depan hanya tinggal namanya saja.

Melihat kenyataan tersebut, maka upaya merevitalisasi pantun merupakan keharusan. Menurut penulis, ada empat cara untuk merevitalisasi pantun, yaitu: redefinisi pantun, keberpihakan politik, pemanfaatan kemajuan tehnologi, penelitian aspek antropologis dan sosiologis pantun.

Pertama. Redefinisi Pantun. Langkah pertama dan paling utama untuk merevitalisasi pantun adalah melakukan pendefinisian ulang terhadap pantun. Pantun dianggap sebagai karya sastra yang mati oleh pujangga baru atau sekedar sebagai hiburan, merupakan efek dari pendefinisian pantun. Ketika pantun didefinisikan sebagai karya sastra asli Melayu yang terdiri empat baris dan berrima abab, maka jangan heran apabila pantun dianggap sebagai karya sastra yang telah mati. Hal tersebut terjadi karena definisi yang diberikan tidak mencerminkan keluhuran nilai-nilai, fungsi, dan keluasan penggunaannya. Agar mampu memberikan pendefinisian yang akurat, maka kita harus melihat konteks sosial-kultural masyarakatnya.

Kedua. Keberpihakan Politik. Adakalanya sebuah tradisi harus hilang (dihilangkan) karena kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendakinya. Seperti halnya barongsai yang sempat dilarang oleh Orde Baru. Semakin seringnya pimpinan daerah, atas nama otonomi daerah, mengutip pantun dalam upacara-upacara resmi tentu merupakan kabar baik. Namun perlu disadari bahwa merevitalisasi pantun tidak cukup hanya mengutip pantun dalam pidato-pidato resmi, perlu tindakan nyata agar pantun kembali menjadi bagian masyarakat. Pemerintah harus mensponsori program-program yang memungkinkan nilai-nilai pantun tersosialisasi dan menjadi kebanggaan masyarakat. Harus disadari bahwa tercerabutnya pantun dari masyarakat Melayu karena, salah satunya, hilangnya kebanggaan masyarakat terhadap pantun.

Ketiga. Pemanfaatan Tekhnologi. Sebagai sebuah karya sastra yang dihasilkan dari tradisi oral, maka pantun agar dapat bertahan harus ikut memanfaatkan tekhnologi. Banyak tekhnologi yang dapat digunakan untuk merevitalisasi pantun, misalnya yang dilakukan oleh www.melayuonline.com dengan proyek pengumpulan selaksa pantunnya. Ketika para orang tua tidak lagi mempunyai kesempatakan untuk menemani anak-anaknya bercerita, maka keberadaan teknologi dapat memberikan solusi. Menghadirkan pantun dalam dunia virtual atau online merupakan langkah strategis untuk melakukan pengenalan, pengajaran, dan pembiasaan berpantun masyarakat.

Keempat. Penelitian Aspek Antropologis dan Sosiologis Pantun. Cara ini penting untuk mengetahui perkembangan kosmologi orang Melayu yang terkandung dalam pantun. Cara ini sangat bermanfaat untuk memberikan arah bagaimana merevitalisasi pantun dan nilai-nilainya sehingga terus sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, cara ini juga akan bermanfaat sebagai refrensi untuk melakukan penyelamatan alam.

Melalui keempat cara tersebut, penulis yakin pantun akan mampu menghantarkan Melayu mencapai kejayaan tanpa harus mengalami alienasi. Nilai-nilai luhur pantun akan mampu menggerakkan masa kini untuk mengkonstruksi masa depan. Zaman telah berubah dan menuntut kebutuhan yang juga telah berubah. Romantisme harus digantikan nalar yang lebih produktif sehingga menghasilkan sesuatau yang konkret dan berwawasan global.

E. Kesimpulan

Revitalisasi pantun merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan, atau Melayu akan kehilangan jati dirinya. Di samping itu, bangsa Melayu dapat menggunakan intan permata yang ada dalam pantun untuk meraih kejayaannya. Kita dapat bernostalgia dengan isi pantun yang di dalamnya kebijaksanaan bangsa Melayu tercurahkan, hanya saja kita harus tetap sadar bahwa nostalgia yang kita lakukan bukan menghadirkan masa lalu ke masa kini tetapi menggunakan nilai-nilai yang terkandung untuk melihat masa kini dan membentuk masa depan.

Agar nilai-nilai dapat digunakan sebagai landasan, Melihat kenyataan tersebut, maka upaya merevitalisasi pantun merupakan keharusan. Ada empat cara yang harus dilakukan untuk melakukan revitalisasi pantun, yaitu: redefinisi pantun, keberpihakan politik, pemanfaatan kemajuan tekhnologi, dan penelitian secara antropologis dan sosiologis. Melalui keempat langkah tersebut, maka pantun akan menjadi warisan khazanah budaya Melayu yang terus hidup, menjadi media untuk mewariskan nilai-nilai Melayu, dan menjadi landasan untuk membangun peradaban Melayu yang humanis, toleran, dan multikultur.

Jika Jepang mampu menjadi Negara modern dengan berlandaskan nilai-nilai luhur budayanya yang termaktub dalam Tokugawa Religion, maka Melayu dapat menggunakan nilai-nilai yang ada dalam pantun untuk meraih dan mengembalikan kejayaannya.

Bibliografi:

Aan van Zoest, 1993, Semiotika Tentang Tanda: Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, (Bangi, Persatuan Penulis Selangor).

Abdullah Hasan, Aripin Said, dan Ainon Mohd., 2006, Koleksi Pantun untuk Majlis Perkahwinan dan Persandingan Melayu, (Selangor, PTS Millenia).

Achadiati Ikram, 1997, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya).

”Berpacu Menyelamatkan Budaya Melayu,” dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=164282&kat_id=306&kat_id1&kat_id2, diakses tanggal 22 November 2007.

Binhad Nurrohmat, “Menagih Rempah Sastra Melayu”, dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=193883&kat_id=364&kat_id1&kat_id2, diakses tanggal 22 November 2007.

C.A. van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanius).

Ding Choo Ming, 2007, “Role of the Pantun in Building Cultural Identity in The Malay World in The 21st Century and Beyond” dalam Prosiding Seminar Pantun Melayu: Semalam, Hari ini, dan Esok, (Institut Alam dan Tamadun Melayu Universiti Kabangsaan Malaysia).

______________, 2008, Pantun Peranakan Baba: Mutiara Gemilang Negeri-negeri Selat, (Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia)

Elok Dyah Messwati, Simbol Baru Kepulauan Riau, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/27/humaniora/2320924.htm, diakses tanggal 22 November 2007.

Fatimah Abdullah, 2007, “Isu Keluarga dalam Pantun Melayu: Satu Tinjauan Awal” dalam Prosiding Seminar Pantun Melayu: Semalam, Hari ini, dan Esok, Institut Alam dan Tamadun Melayu Universiti Kabangsaan Malaysia.

Francois-Rene Daillie, 2002, Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).

Haji Ibrahim, 2001, Pantun-Pantun Melayu Kuno, Yayasan Pusaka Riau, Riau.

Harun Aminurrashid, 1960, Kajian Puisi Melayu, (Singapore: Pustaka Melayu).

Hasan Junus, 2001, Pantun-Pantun Melayu Kuno, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau).

Hashim Awang, 1998, Budaya dan Kebudayaan: Teori, Isu dan Persoalan, (Kualalumpur, Citra Budaya).

Hassan Ahmad, 2002, "Kreatifnya Minda Melayu," Imbasan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka)

Hoesein Djajadiningrat, “Arti Pantoen Melayoe jang Gaib”, Poejangga Baroe, No. 6 Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I Pebroeari-Maret 1934.

I.R. Poedjawijatna, 1954, "Peralihan Kesusasteraan Indonesia dari Lama ke Baru,” Basis, No. 3, Th. V, Februari.

Ibrahim, Haji, 2001, Pantun-Pantun Melayu Kuno, (Riau, Yayasan Pusaka Riau).

Joko Siswanto, 2005, Orientasi Kosmologi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press).

Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasma dengan Penerbit Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.

Kris Budiman, 1999, Kosa Kata Semiotika, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar).

Louis Leahy, 1984, Manusia sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal, (Jakarta: Gramedia).

Made Purna, dkk, 1993, Nilai Budi Pekerti dalam Pantun Melayu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan Direktoral Jendral Kebudayaan-Direktorat Dejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Majlis Peperiksaan Malaysia, 2005, Mutiara Sastera Melayu Moden, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka).

________________________, 2005, Mutiara Sastera Melayu Tradisional, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka).

Maman S. Mahayana, ”Luka Sejarah dalam Sajak-sajak Penyair Riau”, dalam Republika, 13 Februari 2005.

_________________, 2007, “Pantun Sebagai Representasi kebudayaan Melayu, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, (Yogyakarta, BKPBM dan Penerbit Adicita).

Md. Salleh Yaapar, “Jatuh ke Laut Menjadi Pulau: Mengamati Hubungan Pantun Melayu dan Pantoum Barat”, dalam http://www.usm.my/pantun/makalah4-7.asp, diakses tanggal 26 November 2007.

Mohd. Taib Osman, 1978, "Kepercayaan Tradisional dalam Sistem Kepercayaan Melayu Ditinjau dengan Pendekatan Antropologi Budaya," dalam Bingkisan Kenangan Pendita, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).

Muhammad Haji Saleh, “Ghairah Dunia dalam Empat Baris: Pantun Sebagai Bentuk Bersama”, dalam http://www.usm.my/pantun/makalah3-1.asp, diakses tanggal 26 November 2007.

__________________, 2000, Puitika Sastera Melayu, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).

Noriah Taslim, “Pantun dan Psikodinamika Kelisanan”, dalam http://www.usm.my/pantun/makalah1-1.asp, diakses tanggal 26 November 2007.

Philip L. Thomas, 1994, "Penekanan Fonologi dan Semantik dalam Pantun Melayu," dalam Sempana: Himpunan Esei Penelitian oleh Sarjana Kesusasteraan Melayu Antarbangsa, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).

Purna, Made, dkk, 1993, Nilai Budi Pekerti dalam Pantun Melayu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan Direktoral Jendral Kebudayaan-Direktorat Dejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

”Revitalisasi Budaya Melayu Dapat Dimulai Lewat Bahasa”, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/31/utama/1180369.htm, diakses tanggal 22 November 2007.

Sri Sukesi Adiwimarta, dkk (penyunting), Pendar Pelangi: Buku Persembahan untuk Prof. Dr. Achadiati Ikram, Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Sutan Takdir Alisjahbana, 1961, Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat.

Tenas Effendy, 2002, Pemimpin dalam Ungkapan Melayu, (Kuala Lumpur, Dewan Pustaka dan Bahasa).

___________, 2004, Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu, (Yogyakarta, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasma dengan Penerbit Adicita Karya Nusa).

____________, 2005, Pantun Nasehat, (Yogyakarta, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasma dengan Penerbit Adicita Karya Nusa).

Tengku Intan Marlina bt Tengku Mohd Ali dan Madiwati Mamat, 2007, “Simbol Wanita dalam Pantun Percintaan”, dalam Prosiding Seminar Pantun Melayu: Semalam, Hari ini, dan Esok, Institut Alam dan Tamadun Melayu Universiti Kabangsaan Malaysia.

Tusiran Suseno, 2003, Mari Berpantun, Yayasan Kesenian Riau Jakarta dan Pemerintahan Kota Tanjungpinang.

Yaapar, Md. Salleh, “Jatuh ke Laut Menjadi Pulau: Mengamati Hubungan Pantun Melayu dan Pantoum Barat”, dalam http://www.usm.my/pantun/makalah4-7.asp, diakses tanggal 26 November 2007.

Zainal Abdin Bakar, 1984, Kumpulan Pantun Melayu, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).

Zainal Abidin Ahmad, 1957, Pelita Bahasa Melayu III, London, Macmillan and Co. Limited

Zainal Abidin Borhan, 2000, "Pantun dan Peribahasa Melayu: Persoalan Jati Diri dan Patriotisme," dalam Globalisasi dan Patrotisme dalam Sastera Melayu, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).

Dibaca : 6763

  Share  
Facebook



Berikan Komentar Anda:





5
Sahabat online

Hari ini : 112 Kemarin : 55 Minggu kemarin : 0 Bulan kemarin : 0

Anda pengunjung ke :
340.851

© 2010. All rights reserved.