Melalui Facebook budaya Melayu dapat berkembang dan menemukan ranahnya di era jaringan dengan fasilitasi teknologi komunikasi modern.
Wawancara Riau Pos, Minggu, 22 Maret 2009.(Laporan Gema Setara, Pekanbaru)
http://www.riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=4405
Dalam pandangan Mahyudin Al Mudra SH MM, Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Facebook merupakan ranah postmodernitas dalam komunikasi antar manusia yang tidak dibatasi oleh teritori administratif kenegaraan. Ranah ini merupakan salah satu produk mutakhir dari teknologi komunikasi yang dapat mengintegrasikan secara network dari seorang individu ke individu lainnya di belahan dunia manapun dan kapanpun. Ini adalah ranah virtual (virtual scape) yang berfungsi sebagai ruang publik.
Dalam perspektif Manuel Castel yang menulis buku mengenai The Rise of the Network Society, menjelaskan bahwa industri komunikasi telah semakin meletakkan individu manusia untuk bergerak dan berkomunikasi melalui jaringan. Relasi sosial tersebut tentunya akan membentuk “kebudayaan virtual” dan sekaligus menemukan ranahnya di ruang virtual tersebut.
Jika kita bandingkan dengan pada zaman modern awal komunikasi tatap muka masih harus melintasi wilayah administrasi tertentu dengan menggunakan alat transportasi, maka semenjak ada teknologi internet di era akhir zaman modern, cukup dilakukan secara virtual. Kebudayaan Melayu dalam hal ini, tidak lagi hanya dikembangkan dalam ranah yang nyata namun juga virtual.
“Melalui Facebook budaya Melayu dapat berkembang dan menemukan ranahnya di era jaringan dengan fasilitasi teknologi komunikasi modern. Sebagai contoh, kami juga membuka akun melayuonline group di Facebook yang mempunyai member sebanyak lebih dari 2.000 anggota aktif sebagai sarana untuk mengenalkan portal-portal kemelayuan yang kita kelola, yaitu: melayuonline.com; wisatamelayu.com dan rajaalihaji.com, ceritarakyatnusantara.com serta www.tengkuamirhamzah.com.” terangnya.
Facebook pada dasarnya masih memiliki kaitan erat dengan budaya tatap muka di zaman ketika kita belum mengenal internet. Oleh karena masing-masing individu telah sibuk dengan pekerjaan dan aktivitas masing-masing, tatap muka semakin sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu ranah virtual inilah yang kemudian memfasilitasi umat manusia untuk bertatap muka secara virtual.
Mengapa Facebook merupakan kelanjutan dari budaya tatap muka? Sebelum kita mengenal Facebook ada kecenderungan kuat dunia virtual itu merupakan ruang publik yang anonym, dalam arti siapapun dapat membangun identitasnya sendiri tanpa harus sesuai dengan kondisi yang nyata. Facebook membalik kecenderungan itu. Foto diri merupakan identitas penting ketika orang mau menambah relasi, tanpa identitas yang jelas dan pasti orang cenderung tidak mau menambahkan sebagai teman. Orang tidak mau asal menambah teman karena jika teman yang “tidak dikenal” itu menulis kata apa saja yang dapat merugikan di dinding pemilik Facebook maka dapat merugikan si pemilik. Budaya tatap muka merupakan budaya untuk menghormati satu sama lain, demikian pula di Facebook.
Facebook juga merupakan kelanjutan dari berbagai bentuk media capitalism yang semenjak zaman pergerakan nasional telah menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut oleh Ben Anderson sebagai “imagined community” (komunitas bayangan). Komunitas seperti ini pada dasarnya hanya ada dalam angan kita, namun memiliki efek memperteguh, memperkuat dan menyatukan solidaritas sosial. Jika kita masukkan budaya Melayu dalam konteks ini maka efeknya adalah tumbuhnya solidaritas Melayu sedunia untuk mempertahankan kebudayaan Melayu untuk bersandingan dengan budaya lainnya secara global.
Dengan demikian imagined community ini juga diletakkan dalam basis multikulturalisme yang luas guna mencegah adanya dominasi budaya yang satu terhadap yang lain. Ini penting karena pada dasarnya kebudayaan itu ada dalam posisi yang setara dan dapat hidup berdampingan satu sama lain, guna mewujudkan perdamaian antar budaya atau peradaban.
Menurutnya lagi, Facebook pada dasarnya tidak hanya budaya tatap muka, namun juga budaya ‘ngobrol’ karena disediakan fasilitas untuk chating dan juga untuk email. Selain itu juga Facebook juga memberi ruang kepada pemiliknya untuk menulis apa saja yang ingin dituliskan oleh pemiliknya, atau meng-upload artikel,foto, film atau apapun yang dia tulis atau produksi. Jadi Facebook sebagai media untuk melestarikan budaya Melayu merupakan langkah strategis dalam konteks global.
Dengan demikian orang-orang Melayu dapat membawa kelokalan masing-masing ke dunia global dan sebaliknya mengenalkan yang global ke ranah lokal (glokalisasi). Misalnya berpantun ria di Facebook sehingga orang Melayu di belahan Afrika, atau Asia Selatan, Australia, Thailand, Filipina atau manapun dapat saling berbalas pantun dengan orang Melayu Bengkalis atau Tembilahan, atau orang Melayu di Dolok Masihul (Kab Serdang Bedagai, Sumut) atau orang Melayu di kampung Melayu di Negara (Bali) atau di belahan manapun di planet bumi ini. Dan hal itu dapat didokumentasikan sebagai pantun Melayu di era virtual.
Facebook tentu ada dampak positif maupun negatifnya. Dampak positif yaitu dapat mempertemukan orang secara virtual dan membangun modal sosial secara jaringan. Bahkan dapat pula mempertemukan teman lama yang tidak pernah bersua puluhan tahun lamanya tanpa diduga-duga. Ini artinya mempererat tali silaturahmi antar manusia dari belahan yang satu dengan belahan yang lainnya tanpa ada kendala ruang dan waktu.
Dampak negatifnya muncul ketika orang kecanduan (addicted) Facebook, karena akan menyedot waktu yang cukup banyak karena harus melayani dari ratusan hingga ribuan relasi. Facebook tidaklah harus sebagai kewajiban, namun biarlah orang menumbuhkembangkan diri mereka masing-masing melalui Facebook atau media lainnya yang bersifat jaringan. Biarkan orang menemukan diri mereka di dunia maya, jika dahulu kita mengenal blog, dan hanya dalam waktu hitungan yang singkat hal itu telah dikalahkan oleh Facebook. Ini artinya kita tidak perlu mengharuskan orang ber-Facebook karena pada suatu ketika nanti Facebook pasti akan mendapatkan saingannya dan orang akan berganti ke ranah yang baru lagi dan Facebook akan ditinggalkan.
Menyuburkan Budaya Tulis
Meskipun Facebook ini sangat jauh dari kebudayaan Melayu, akan tetapi bila dilihat sepintas Facebook ini akan bisa mengangkat tradisi tulis menulis yang pernah berkembang di negeri Melayu Riau ini. Seniman muda Riau yang juga Rektor Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Hang Kafrawi yang ditemui Riau Pos memandang
Facebook ini membuka peluang untuk dunia tulis menulis. Sebab bagaimanapun juga, komunikasi di Facebook adalah kemunikasi menggunakan bahasa tulis.
Selain itu Facebook dapat juga digunakan sebagai wadah menuangkan gagasan tulisan pribadi tanpa harus melalui prosedur atau antrian untuk dimuatkan, seperti media masa cetak. Orang-orang yang telah membuka Facebook kapan saja bisa mempublikasikan tulisan mereka. Mudah-mudahan Facebook bukan menjadi wadah pornografi dan sebaiknya Facebook digunakan untuk hal-hal yang positif.
Bagaimana jika dilihat dari sisi budaya khususnya budaya Melayu, Kafrawi mengatakan budaya itu tidak statis, perkembangan zaman merupakan perkembangan budaya itu sendiri. Terciptanya teknologi serba canggih merupakan kemajuan budaya. Untuk itu haruslah disikapi dengan pemikiran yang maju pula.
Memang, katanya kalau memandang budaya dengan pandangan sempit, maka kemajuan teknologi merupakan ‘hantu’ yang diyakini bisa manakutkan. Seperti itulah fenomena Facebook. Facebook merupakan produk kemajuan teknologi, dan Facebook memperkuat hakikat manusia sebagai makhluk untuk berintraksi dengan sesama manusia lainnya dan fenomena ini telah ada pada kebudayaan manusia di muka bumi ini.
”Melayu kalau ditinjau sebagai kebudayaan memang tidak mengenal Facebook, namun demikian Facebook membuka peluang untuk membangun imej kebudayaan baru,’’ tutur Kafrawi yang mengakui penggemar Facebook ini.
Facebook merupakan produk baru dilihat dari media yang digunakan, yaitu jaringan internet. Namun demikian, manusia sudah lama membutuhkan komunitas yang bisa mencurahkan atau bertukar pikiran dan Facebook menawarkan hal itu. Dengan Facebook kita dapat bertukar pikiran dan mengenal orang lebhih banyak lagi.
Facebook sebagai media lainya berpeluang menciptakan pandangan baik dan buruk, terutama hal-hal yang berbau pornografi. Hal ini dikarenakan tidak ada saringan yang ketat oleh pengelola Facebook dalam meyeleksi sesuatu yang dipublikasikan oleh anggota Facebook.
Kalau hal ini dibiarkan, di kemudian hari tidak mustahil Facebook bisa dijadikan sarana maksiat. Nilai positif tentu ada. Dengan Facebook selain kita dapat menuangkan gagasan atau mengabarkan sesuatu hal yang terjadi di daerah kita ini, kita juga dapat lebih cepat mengetahui peristiwa di belahan dunia ini melalui teman-teman kita di Facebook.
Ke depan, lanjutnya lagi selagi Facebook digunakan untuk hal-hal yang berfaedah, tidak salah kalau masyarakat banyak atau pelajar membuat Facebook. Walaupun demikian, untuk pelajar dan juga untuk masyarakat banyak, termasuk kita yang sudah membuat Facebook, haruslah membatasi diri membuka Facebook.
”Hal ini dikarenakan Facebook membentuk individualisme yang kuat. Di depan layar monitor komputer atau laptop kita seakan hanya hidup dengan orang-orang di Facebook saja dan itu bisa membahayakan sensitifitas kita terhadap lingkungan di mana kita hidup,” tuturnya.