Senin, 6 Oktober 2025

”Penganiayaan Terencana di Suatu Pagi yang Kelabu

”Penganiayaan Terencana di Suatu Pagi yang Kelabu
Penganiayaan Terencana di Suatu Pagi yang Kelabu

Akhirnya tiba juga saat yg mengerikan itu! Setelah menyekapku di sebuah ruangan putih selama semalaman dan tidak memberiku makan minum sedikitpun, mereka membawaku ke ruang penyiksaan itu. Tiga orang pria tegap berambut cepak-berseragam hijau menunggu kedatanganku. Nampaknya mereka sudah bersekongkol untuk melakukan penyiksaan terencana, karena di ruangan yang dingin itu telah tersedia beberapa pisau yang sangat tajam dan benda lain untuk menyayat2 tubuhku.

Aku berusaha memberontak dan melarikan diri, tapi tak berdaya karena sebelumnya mereka telah membiusku. Pandanganku nanap menyapu ruangan untuk meminta bantuan. Tetapi selalu dan selalu saja polisi tidak pernah berada di dekat kita saat kita memerlukan bantuan mereka. Penganiayaan ini nampaknya sudah terencana dan diorganisir dengan baik, karena beberapa wanita (ya, wanita! berjumlah 4 orang ) telah berada di ruangan itu, bersiap membantu para pria tegap berambut cepak-berseragam hijau itu menyiapkan peralatan jagal. Senyum mereka adalah seringai para Gerwani yang membantu aktivis PKI menyiksa dan membantai para jenderal di Lubang Buaya pada 30 September 1965. Pasti nanti mereka menyanyikan lagu "Genjer-genjer" ketika pisau tajam itu merobek perutku.

Oh, my God, mengapa aku bisa terdampar ke ruangan ini, dikelilingi oleh 7 orang yang berjiwa sadis, tanpa seorang teman pun berada di dekatku. Kemana para sahabat dan kerabat yang ratusan jumlahnya saat menghadiri Milad ke-2 MelayuOnline.com itu? Mengapa tak ada yang datang merangsek masuk dengan persenjataan lengkap dan membebaskanku dari ruang dingin ini. Tak habis pikir aku, kenapa keberadaan ruang jagal ini tak tercium polisi atau masyarakat, sehingga mereka bebas melakukan aksi tak berperikemanusiaan ini tanpa sedikitpun takut diketahui tetangga atau aparat hukum.

Dalam kondisi antara sadar dan tidak, kulihat seorang pria tegap berambut cepak-berseragam hijau (mungkin komandannya) mulai memberikan perintah kepada wanita2 itu untuk lebih mendekatkan senjata-senjata mereka ke tubuhku. Ketika kurasakan dinginnya sebuah pisau yang sangat tajam dibenamkan kebawah perutku, lirih kusebut nama Tuhan. Aku masih menaruh sedikit harapan Tuhan kebetulan lewat dan mengetahui kejadian ini, dan membantu menyelamatkanku dengan merubah pikiran para jagal ini agar mengurungkan niat mereka untuk menyiksa diriku.

Tapi harapanku sia-sia. Penyiksaan ini justru baru akan dimulai. Pria tegap berambut cepak-berseragam hijau lainnya bersama seorang wanita, dengan bengis mengikat tanganku disisi ranjang dan menarik bajuku ke atas agar pisau jagal itu bebas menari-nari di bawah perutku. Mutilasi! Itulah yang terbayang di benakku dan membuatku seketika panik luar biasa. Ya! mereka pasti akan melakukan mutilasi dan memotong-motong tubuhku menjadi beberapa bagian dan membuangnya secara terpisah di beberapa tempat. Boleh jadi mereka memasukkan potongan kakiku ke dalam tas plastik hitam dan membuangnya di sungai, atau menjejalkan potongan tanganku ke dalam sebuah kardus Baygon dan meletakkannya begitu saja di bus kota atau sudut taman tempat mangkal para waria.

Dalam keputusasaanku, aku berharap jika pun mereka memotong kepalaku, mereka tidak akan membuangnya begitu saja di tong sampah kota, (dan diperebutkan anjing atau kucing liar) tetapi meletakkannya di ruang baca perpustakaan kota. Dengan demikian, diantara pembaca yang gempar itu aku yakin pasti ada seorang dua yang mengenaliku, karena sudah lebih 10 tahun aku menjadi pembaca setia di ruang kumuh perpustakaan itu. Kalau pun tidak, aku yakin Pak Somad, penjaga perpustakaan itu tidak akan lupa padaku, karena aku selalu memberikan uang sisa pembelian rokok kepadanya. Dengan begitu, jenazahku akan dikuburkan secara terhormat meski tanpa tembakan salvo.

Para penyiksaku ini nampaknya memang sudah terbiasa melakukan tindakan yang tak berperikemanusiaan ini. Mereka menyayat-nyayat tubuhku dengan dingin dan tanpa panik sedikitpun, seolah mereka sedang memotong kambing kurban pada hari raya Iedul Adha. Bagaimana tidak berdarah dingin, jika si pria tegap berambut cepak-berseragam hijau itu menyayat perutku sambil bersenandung sebuah lagu yg tak kukenal pasti judulnya. Entah terbuat dari apa hati manusia-manusia penyiksaku ini. Mereka melakukannya dengan tenang tanpa takut dan panik sedikitpun. Tidak panik? Mungkin saja ada teman mereka yang menunggu di depan, mengawasi keadaan di luar dan memberitahukannya jika ada orang lewat atau curiga dengan aktivitas di ruang dingin itu. Yang paling keterlaluan adalah para wanita Gerwani pembantu jagal itu. Sambil membersihkan darahku yang berlumuran pada pisau yang dipakai si pria tegap berambut cepak-berseragam hijau itu, mereka masih sempat tertawa cekikikan dan membicarakan arisan di kampungnya. Sampai kiamat pun, tak akan pernah kulupakan wajah para Gerwani itu. Tak ada sedikitpun ekspresi kengerian di wajah mereka.

Sreett.... sreeett....cuurrr.... Ughhh! Perutku terbuka. Ususku terburai, darah merah menggenang dan mengalir ke pinggangku. Dengan cekatan, salah seorang dari pria tegap berambut cepak-berseragam hijau itu mengaduk-aduk isi perutku, mengambil organ yang diingininya, dan memotongnya. Aku tak tahan melihat perutku berserpihan. Pandanganku kabur, semua tampak berputar, perutku mual, dan kesadaranku perlahan-lahan melayang. Aku merasa seperti terbenam dalam lorong awan-gemawan yang gulita ….

Entah berapa lama aku berpusing dalam pusaran dan akhirnya hilang dalam alam antah berantah yang tak berujung pangkal. Aku mengerahkan segenap tenaga untuk keluar dari lorong gelap itu. Susah payah aku berusaha memenuhi paru-paruku dengan oksigen, melonggarkan dadaku yang pepat. Perlahan-lahan, lorong gelap itu terkuak. Aku melihat cahaya terang jauh di ujung lorong, dan sebuah kekuatan yang tak kuketahui dari mana datangnya seolah menghelaku ke dataran yang putih, terang, dan ringan. Sayup-sayup telingaku menangkap sebuah suara asing.
……………………………………
“Pak Mahyudin ...., operasinya sudah selesai. Bapak bisa mendengar saya, Pak?”
Ah, suara si Gerwani. Kututup lagi mataku.



(RS Panti Rapih, 19 Mei 2009, Pav Maria 12, diantara lorong-lorong yang dingin & senyap)


Artikel Terkait: "Talak Tiga Untuk Hernia"

Dibaca : 2594


Berikan Komentar Anda:





24
Sahabat online

Hari ini : 95 Kemarin : 55 Minggu kemarin : 0 Bulan kemarin : 0

Anda pengunjung ke :
340.834

© 2010. All rights reserved.